Ramadhan Dan Idul Fitri Sebagai Sebagai Sikap Menumbuhkan Toleransi

Toleransi



Semangat Idul Fitri tidak bisa dilepaskan dari semangat Ramadhan (puasa). Antara Idul Fitri dan Ramadhan adalah satu kesatuan. Secara spiritual, perumpamaan antara keduanya seperti pakaian bagian atas (baju) dan bagian bawah (celana). Orang yang berpuasa tapi tidak membayar zakat fitrah dan tidak ikut salat Idul Fitri seperti orang yang memakai celana/rok tapi tidak memakai baju. Begitu juga yang hanya ikut membayar zakat dan salat Idul Fitri tapi tidak berpuasa seperti orang memakai baju tapi tidak memakai celana.

Ramadhan yang menggembirakan semua orang adalah pelaksanaan ibadah yang memberi inspirasi dan manfaat bukan hanya bagi Muslim. Kalau ada non-Muslim yang ikut berpuasa, atau setidaknya tidak makan dan minum di arena publik pada siang hari, itu semata karena terinspirasi betapa pentingnya hal itu dilakukan, bukan karena terpaksa atau paksaan, apalagi karena rasa takut terkena sweeping.
  
Secara sosial, Ramadhan adalah bulan yang penuh rahmat dan ampunan, bulan kedamaian dan harapan. Jika puasa dijalankan, siapa pun akan mendapatkan hikmahnya, setidaknya dari aspek kesehatan, juga perasaan akan kedamaian. Karenanya, jangan heran jika Nabi Muhammad SAW pernah bersabda bahwa banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali rasa lapar dan haus.

Sabda Nabi ini peringatan bagi mereka yang berpuasa (bisa menahan lapar) tapi tidak bisa menahan amarah, tidak bisa berhenti dari ghibah (bergunjing), dan tak bisa menahan diri dari caci maki dan ungkapan-ungkapan yang menyakitkan orang lain.

Tidak hanya itu, Tuhan bahkan memperingatkan bahwa yang salat pun bisa celaka, jika salatnya tidak berdampak positif bagi kehidupan manusia dan lingkungannya. Al-Qur’an menyontohkan orang salat tapi celaka adalah mereka yang salat tapi lalai (berbuat kebajikan) dan menghardik/mencampakkan anak yatim, dan tetap membiarkan (tidak peduli pada) orang-orang miskin.

Artinya, puasa Ramadhan juga salat harus berdampak pada terciptanya kehidupan sosial yang harmonis, rukun, damai, dan berbahagia bersama. Oleh karena itu, pada saat Idul Fitri tiba yang dikembangkan bukan lagi toleransi yang meniscayakan tarik-ulur sesuai keinginan yang berkuasa.

Idul Fitri membutuhkan sikap yang lebih dari sekadar toleransi (baik sesama pemeluk agama yang sama atau yang berbeda). Karena toleransi adalah pemberian dari pihak yang lebih berkuasa kepada pihak yang (posisinya) lebih lemah. Dalam struktur kekuasaan, misalnya, tak ada contoh bawahan menoleransi atasan, karena hanya atasan yang mempunyai wewenang memberi toleransi (kepada bawahan). Sedangkan dari bawahan ke atasan adalah tuntutan atau permohonan.

Toleransi beragama berarti saling menghormati dan berlapang dada terhadap pemeluk agama lain, tidak memaksa mereka mengikuti agamanya dan tidak mencampuri urusan agama masing-masing. Ummat Islam diperbolehkan bekerja sama dengan pemeluk agama lain dalam aspek ekonomi, sosial dan urusan duniawi lainnya. Dalam soal beragama, Islam tidak mengenal konsep pemaksaan beragama. Setiap diri individu diberi kelonggaran sepenuhnya untuk memeluk agama tertentu dengan kesadarannya sendiri, tanpa intimidasi.

Kebebasan beragama adalah hak, bukan pemberian. Pada saat Idul Fitri kita maknai “kembali ke fitrah kemanusiaan”, maka sama saja dengan mengembalikan manusia pada kebebasannya. Kebebasan untuk memilih beriman (kepada Tuhan) atau tidak beriman adalah hak setiap manusia. Kalaupun ada kewajiban manusia untuk saling mengingatkan, saling menasihati, atau saling mengajak, maka itu sebatas menyampaikan, bukan untuk memaksakan.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Ramadhan Dan Idul Fitri Sebagai Sebagai Sikap Menumbuhkan Toleransi"

Posting Komentar